Pedagang
kaki lima bukanlah sebuah istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan
di beberapa wilayah di Indonesia, pedagang kaki lima menjadi ciri khas yang
banyak diburu oleh para wisatawan baik wisatawan local maupun wisatawan
mancanegara. Sebagai contoh adalah pedagang kaki lima yang berada di wilayah
malioboro di kota Yogyakarta. Para pedagang kaki lima di malioboro selalu
menjadi incara para wisatawan yang melancong ke kota Yogyakarta. Secara umum
pengertian pedagang kaki lima adalah pedagang yang menjajakan barang
dagangannya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak.
Dalam
industri jasa boga di Indonesia, berdagang dengan cara kaki lima ini juga sudah
sangat populer di kalangan masyarakat.
Penjual makanan yang menjajakan makanannya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak sangat mudah kita temukan terutama di malam hari. Bahkan berdagang dengan cara kaki lima saat ini sudah menjadi tren yang kemudian dikembangkan oleh para pelaku industri jasa boga. Kaki lima yang semula identik dengan dagangan yang murah dengan gerobak yang sederhana, saat ini mulai berkembang menjadi dagangan modern dengan berbagai bentuk gerobak yang cantik dan unik.
Misalnya saja seperti gerobak kebab, burger, juice, dll. Seiring dengan semakin berkembangnya pedagang
kaki lima modern, pedagang kaki lima yang menjual panganan tradisional pun
perlu juga untuk diperhatikan dan dikembangkan. Maka dari itu, pada artikel ini
akan banyak dibahas mengenai perkembangan pedagang kaki lima yang menjajakan
makanan tradisional, khususnya di daerah sekitar kampus Universitas Gadjah
Mada.
Wilayah
sekitar kampus UGM yang disorot dalam artikel ini adalah wilayah di sebelah
barat Gedung Rektorat dan Gedung GSP UGM. Menurut keterangan dari Bapak Brewok
selaku ketua paguyuban pedagang kaki lima di wilayah tersebut, pedagang kaki
lima yang menjual berbagai macam makanan telah ada sejak tahun 1999. Pada awal
mula kemunculan pedagang kaki lima di wilayah tersebut, padagang yang ada
sekitar 4-5 pedagang. Lokasi tersebut dipilih oleh para pedagang kaki lima
karena merupakan wilayah yang dekat dengan tempat-tempat “nongkrong” mahasiswa
seperti gelanggang mahasiswa dll. Mahasiswa adalah target sasaran empuk bagi
para pedagang kaki lima karena biasanya para mahasiswa ini mencari jajanan yang
relative murah, dan kriteria ini tentunya dapat dipenuhi oleh para pedagang
kaki lima.
Pada
tahun-tahun awal berdirinya pedagang kaki lima, karena jumlah pedagang masih
sedikit, sering sekali terjadi aksi “pemalakan” yang dilakukan oleh
preman-preman jalan. Berangkat dari ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh aksi
tersebut, akhirnya pada tahun 2003 para pedagang kaki lima bergabung membentuk
sebuah paguyuban untuk menyatukan kekuatan melawan para preman jalan. Dan
semenjak itulah wilayah dagang mereka mulai aman dari aksi pemalakan. Selain
melawan aksi pemalakan, paguyuban ini juga melakukan berbagai kegiatan bersama
seperti kerja bakti, arisan, dan studi banding. Paguyuban yang dipimpin oleh
Pak Brewok ini bersama Bupati Sleman pernah melakukan studi banding ke
Singapura dan Malaysia. Menurut Pak Brewok, di Singapura sendiri pedagang kaki
lima sudah benar-benar modern karena gerobak dan kursi yang ada menggunakan
teknologi “knock down” (serba otomatis). Selain itu, untuk meningkatkan
kesejahteraan para pedagang kaki lima, paguyuban ini juga telah membentuk
sebuah unit koperasi dimana para pedagang bisa melakukan kegiatan simpan
pinjam.
Untuk
jenis makanan yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima di wilayah ini
beraneka ragam dan kebanyakan merupakan makanan khas (tradisional) dari
berbagai daerah sebagai contoh Ayam Bakar Klaten, Mie Jakarta, Soto dan Rawon
Khas Lamongan, Sate Kambing Khas Jakarta, Sate Khas Madura, dll. Selain jenis
makanan yang berbeda, tampilan atau cara penyajian dari tiap pedagang kaki lima
pun berbeda-beda. Ada yang menampilkan tempat lesehan, ada juga yang
menampilkan tempat duduk dengan menggunakan kursi-kursi plastik. Harga
makananpun bervariasi, mulai dari yang murah (Rp 3.000,-) sampai yang mahal (Rp
15.000,-). Pedagang kaki lima ini biasa menjajakan dagangannya mulai dari pukul
17.00 s.d pukul 22.00, dan sampai pada pukul 00.00 pada hari sabtu dan minggu.
Keunikan
dari pedagang kaki lima ini pada dasarnya sudah mulai dilirik oleh lembaga
pemerintahan. Ketua paguyuban PKL mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu,
Dinas Tata Kota Sleman bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia (UII)
pernah berencana untuk menjadikan PKL kuliner ini sebagai sebuah obyek wisata
kuliner. Rencana tersebut sudah dikembangkan sampai pada tahap perencanaan
tampilan dari gerobak para PKL, tetapi sayangnya rencana tersebut berhenti
hanya sampai disitu saja tanpa ada tindak lanjut. Para PKLpun menyayangkan
rencana yang tertunda tersebut. Para PKL pada dasarnya memiliki keinginan kuat
untuk mewujudkan rencana wisata kuliner, hanya saja mereka tidak sanggup jika
keinginan tersebut mereka wujudkan sendiri. Untuk dapat mewujudkan impian
tersebut mereka membutuhkan dukungan dari pihak-pihak terkait. Sampai saat
inipun mereka mengakui bahwa keberadaan paguyuban mereka masih belum diakui
secara hukum sehingga terkadang mereka terhambat jika ingin mengadakan
kegiatan-kegiatan yang lebih inovatif lagi.
Untuk
ke depannya, Paguyuban PKL ini berharap agar pemerintah dan pihak-pihak terkait
lainnya bisa lebih memperhatikan mereka dan membantu mereka dari baik dari segi
legalitas maupun bantuan sarana dan prasarana agar ke depannya bisa lebih baik. (Yusna & Jesika, tphp 2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar