Sabtu, 27 April 2013

Pelaku Industri Jasa Boga (kaki lima) di sekitar UGM


Pedagang kaki lima bukanlah sebuah istilah yang asing bagi masyarakat Indonesia. Bahkan di beberapa wilayah di Indonesia, pedagang kaki lima menjadi ciri khas yang banyak diburu oleh para wisatawan baik wisatawan local maupun wisatawan mancanegara. Sebagai contoh adalah pedagang kaki lima yang berada di wilayah malioboro di kota Yogyakarta. Para pedagang kaki lima di malioboro selalu menjadi incara para wisatawan yang melancong ke kota Yogyakarta. Secara umum pengertian pedagang kaki lima adalah pedagang yang menjajakan barang dagangannya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak.

Dalam industri jasa boga di Indonesia, berdagang dengan cara kaki lima ini juga sudah sangat populer di kalangan masyarakat. 

Penjual makanan yang menjajakan makanannya di pinggir jalan dengan menggunakan gerobak sangat mudah kita temukan terutama di malam hari. Bahkan berdagang dengan cara kaki lima saat ini sudah menjadi tren yang kemudian dikembangkan oleh para pelaku industri jasa boga. Kaki lima yang semula identik dengan dagangan yang murah dengan gerobak yang sederhana, saat ini mulai berkembang menjadi dagangan modern dengan berbagai bentuk gerobak yang cantik dan unik. 

Misalnya saja seperti gerobak kebab, burger, juice, dll.  Seiring dengan semakin berkembangnya pedagang kaki lima modern, pedagang kaki lima yang menjual panganan tradisional pun perlu juga untuk diperhatikan dan dikembangkan. Maka dari itu, pada artikel ini akan banyak dibahas mengenai perkembangan pedagang kaki lima yang menjajakan makanan tradisional, khususnya di daerah sekitar kampus Universitas Gadjah Mada.

Wilayah sekitar kampus UGM yang disorot dalam artikel ini adalah wilayah di sebelah barat Gedung Rektorat dan Gedung GSP UGM. Menurut keterangan dari Bapak Brewok selaku ketua paguyuban pedagang kaki lima di wilayah tersebut, pedagang kaki lima yang menjual berbagai macam makanan telah ada sejak tahun 1999. Pada awal mula kemunculan pedagang kaki lima di wilayah tersebut, padagang yang ada sekitar 4-5 pedagang. Lokasi tersebut dipilih oleh para pedagang kaki lima karena merupakan wilayah yang dekat dengan tempat-tempat “nongkrong” mahasiswa seperti gelanggang mahasiswa dll. Mahasiswa adalah target sasaran empuk bagi para pedagang kaki lima karena biasanya para mahasiswa ini mencari jajanan yang relative murah, dan kriteria ini tentunya dapat dipenuhi oleh para pedagang kaki lima.

Pada tahun-tahun awal berdirinya pedagang kaki lima, karena jumlah pedagang masih sedikit, sering sekali terjadi aksi “pemalakan” yang dilakukan oleh preman-preman jalan. Berangkat dari ketidaknyamanan yang ditimbulkan oleh aksi tersebut, akhirnya pada tahun 2003 para pedagang kaki lima bergabung membentuk sebuah paguyuban untuk menyatukan kekuatan melawan para preman jalan. Dan semenjak itulah wilayah dagang mereka mulai aman dari aksi pemalakan. Selain melawan aksi pemalakan, paguyuban ini juga melakukan berbagai kegiatan bersama seperti kerja bakti, arisan, dan studi banding. Paguyuban yang dipimpin oleh Pak Brewok ini bersama Bupati Sleman pernah melakukan studi banding ke Singapura dan Malaysia. Menurut Pak Brewok, di Singapura sendiri pedagang kaki lima sudah benar-benar modern karena gerobak dan kursi yang ada menggunakan teknologi “knock down” (serba otomatis). Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan para pedagang kaki lima, paguyuban ini juga telah membentuk sebuah unit koperasi dimana para pedagang bisa melakukan kegiatan simpan pinjam.

Untuk jenis makanan yang dijajakan oleh para pedagang kaki lima di wilayah ini beraneka ragam dan kebanyakan merupakan makanan khas (tradisional) dari berbagai daerah sebagai contoh Ayam Bakar Klaten, Mie Jakarta, Soto dan Rawon Khas Lamongan, Sate Kambing Khas Jakarta, Sate Khas Madura, dll. Selain jenis makanan yang berbeda, tampilan atau cara penyajian dari tiap pedagang kaki lima pun berbeda-beda. Ada yang menampilkan tempat lesehan, ada juga yang menampilkan tempat duduk dengan menggunakan kursi-kursi plastik. Harga makananpun bervariasi, mulai dari yang murah (Rp 3.000,-) sampai yang mahal (Rp 15.000,-). Pedagang kaki lima ini biasa menjajakan dagangannya mulai dari pukul 17.00 s.d pukul 22.00, dan sampai pada pukul 00.00 pada hari sabtu dan minggu.


Keunikan dari pedagang kaki lima ini pada dasarnya sudah mulai dilirik oleh lembaga pemerintahan. Ketua paguyuban PKL mengatakan bahwa beberapa tahun yang lalu, Dinas Tata Kota Sleman bekerjasama dengan Universitas Islam Indonesia (UII) pernah berencana untuk menjadikan PKL kuliner ini sebagai sebuah obyek wisata kuliner. Rencana tersebut sudah dikembangkan sampai pada tahap perencanaan tampilan dari gerobak para PKL, tetapi sayangnya rencana tersebut berhenti hanya sampai disitu saja tanpa ada tindak lanjut. Para PKLpun menyayangkan rencana yang tertunda tersebut. Para PKL pada dasarnya memiliki keinginan kuat untuk mewujudkan rencana wisata kuliner, hanya saja mereka tidak sanggup jika keinginan tersebut mereka wujudkan sendiri. Untuk dapat mewujudkan impian tersebut mereka membutuhkan dukungan dari pihak-pihak terkait. Sampai saat inipun mereka mengakui bahwa keberadaan paguyuban mereka masih belum diakui secara hukum sehingga terkadang mereka terhambat jika ingin mengadakan kegiatan-kegiatan yang lebih inovatif lagi.
Untuk ke depannya, Paguyuban PKL ini berharap agar pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya bisa lebih memperhatikan mereka dan membantu mereka dari baik dari segi legalitas maupun bantuan sarana dan prasarana agar ke depannya bisa lebih baik. (Yusna & Jesika, tphp 2008)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 

Beautiful Days Copyright © 2012 Design by Antonia Sundrani Vinte e poucos